
Oleh: Anna Jameela
“DEK, tadi Mas mau dikasih uang lima belas juta cash oleh perusahaan provider relasi perusahaan Mas yang kemarin. Itu pun kalo kurang mau ditambah lagi.”
“Uang apa? Hati-hati ya Mas, ade nggak mau Mas ngambil uang yang abu-abu gak jelas. Masa ngasih uang tanpa sebab ‘kan gak mungkin.”
“Iya, memang Mas tolak, kok. Dokumen penagihan mereka yang nilainya ratusan juta ada sama Mas, Mas bilang, ‘uang ini kasih buat kantor saya yang kemarin, ini bukan hak saya. Karena saya tidak bekerja di sana lagi sekarang.’ Bapaknya tadi bilang, kalau Mas mau besok atau kapan mau ambil uangnya dipersilakan. Gimana menurut Adek?”
“Jangan, ah. Gapapa kita susah, asal jangan makan hak orang lain. Berat Mas pertanggungjawabannya, mengalir di tubuh anak. Anak-anak jadinya bandel, gak bakal berkah Mas hidup kalo kita ngambil hak orang, hati pasti gak tenang, hiii… ngeri, naudzubillah!”
“Iya, Mas juga bangga kok nggak ngambil uang itu, meskipun dalam kondisi kita yang begini.”
Sekelumit percakapanku dengan suami lima tahun yang lalu. Di mana saat itu adalah masa transisi suami pindah ke perusahaan baru, sementara saya baru saja melahirkan anak kedua, tentu biaya dan kebutuhan lebih banyak, saya yang kala itu baru pulang dari kampung, usai persalinan menghabiskan uang yang tidak sedikit, di tambah lagi sebulan berikutnya suami baru dapat panggilan kerja di perusahaan baru, maka selama satu bulan, kami harus makan uang tabungan, perhiasan serta uang DP rumah pun habis terpakai, untuk biaya perawatan saya serta buat biaya hidup lainnya.
Uang lima belas juta, bukanlah nominal yang “wah” bagi kami kala suami masih di perusahaan lama. Namun, ketika masa transisi, uang lima belas juta itu amat sangatlah menggiurkan, mengingat kondisi kami yang sudah tidak seperti dulu lagi.
Andai saya sebagai istri khilaf, dan memaksa suami untuk mengambil saja uang itu, saya yakin suami pasti mengambilnya. Tapi saya sadari, saya adalah penyebab suami saya masuk neraka.
Saat itu, Allah benar-benar menguji keimanan kami berdua. Uang sudah menipis, gajian pun masih jauh, biaya hidup di Balikpapan yang sangat mahal, ditambah lagi hidup di kota besar, membuat hal mustahil apabila kami menolak uang dengan nominal yang tidak sedikit.
Apalagi saya yang sebelumnya terbiasa konsumtif, membeli sesuatu tanpa harus berpikir dua kali, benar-benar sulit menerima keputusan suami yang minta resign dari posisi yang sudah nyaman dari perusahaan lamanya.
Sebagai istri saya hormati keputusan suami. Walaupun harus siap dengan kondisi baru yang hasil pendapatannya tak seberapa jika dibandingkan sebelumnya.
Saya sering bilang kepada suami, bahwa bagi saya dunia ini bukan segala-galanya bagi, saya memang senang perhiasan, shopping, kongkow di mall, makan-makan di restaurant mewah, membeli apa saja yang saya mau. Tapi tahu batasan mana yang harus saya ambil bagiannya hingga tidak makan uang yang bukan menjadi hak kami.
Banyak suami yang terjerat kasus korupsi, demi memenuhi tuntutan istrinya yang minta ini itu tanpa harus berpikir dua kali itu uang siapa, halal atau tidak. Karena pada dasarnya laki-laki khususnya suami, punya naluri ingin selalu membahagiakan istri serta anak-anaknya. Kalau wanita tidak mampu berperan sebagai istri yang mampu menyelamatkan suaminya dari bahaya maksiat salah satunya korup, maka lihat saja, dibuatnya sang suami lupa daratan, lupa bahwa hak orang tidak semestinya dipergunakan untuk kepentingan pribadi.
Istri seharusnya sadar, bahwa ia penentu kebaikan suaminya, ia memegang peranan penting juga dalam keputusan rumah tangga. seharusnya ia sadar, bahwa suaminya kelak harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Banyak sekali istri yang tidak mempedulikan hal itu, mungkin lupa pada perkataan Nabi, bahwa penghuni terbanyak di neraka adalah wanita.
Tak bergidikkah ia membayangkan suaminya kelak disiksa buah dari keinginannya yang silau akan dunia.
Seorang suami kadang memang dilematis menghadapi kondisi istrinya yang minta perabotan mewah, perhiasan, dan kemewahan lainnya. Tidak dituruti ngancamnya minta cerai, marah-marah serta menekuk wajah hingga 180° celcius.
Naluri lelaki itu melindungi dan ingin membahagiakan, maka ketika sang istri menuntutnya harus begini dan begitu mau tidak mau, lama kelamaan pasti sang suami terpengaruh juga.
Seorang suami juga sebaiknya ingat, bahwa ia adalah pemimpin dalam rumah tangganya, pengambil keputusan terbesar, serta orang yang pertama kali dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Tidak seharusnya lemah, patuh dan tunduk pada kemauan serta perintah istri yang mana perintah tersebut menyebabkan ia menjadi penghuni neraka Jahanam.
Pemimpin itu harus kuat serta tegas dalam mengambil keputusan, tidak sekedar keputusan urusan dunia, tapi juga keputusan akhirat. Sayang istri boleh, tapi bukan begitu caranya. Mengikuti kemauannya secara membabi buta, melanggar koridor syar’i yang telah Allah tetapkan.
Suami itu imam bagi keluarganya, maka makmum wajib mengikuti imam, apabila imam melakukan kesalahan, makmumlah yang mengingatkan.
Bukan malah sebaliknya. Makmum memerintahkan imam melakukan pelanggaran dan kesalahan eh imamnya malah manut pada makmum. Logika darimana ini?
Ingatlah wahai para suami, ingat ketika kelak kalian dihadapkan dan ditanya Allah perihal nafkah yang kalian berikan kepada istri dan anak-anak kalian, apakah tega kalian menjawab,
0 komentar:
Post a Comment